Selasa, 14 Maret 2017

Obrolan Penting di Warung Nasi...



Hari ini saya tidak memasak karena ada agenda yang harus diselesaikan, sehingga menyita waktu, sampai benar benar tidak sempat memasak. Untuk makan pagi ini, saya memutuskan membeli nasi dan lauk di warung yang jaraknya tak jauh dari rumah. Sampai di warung woowww... sangatlah padat dan ramai, antrinya pun sampai merayap hehehe. Sambil menunggu, saya menyapa seorang ibu yang juga mengantri di depan saya dan si Anak laki lakinya menunggu di atas motor yang sedang terparkir. Saya tidak mengenal Ibu tersebut, tidak tahu siapa nama beliau, dan di mana rumah beliau, namun  ibu tadi seolah sangat akrab dengan saya, dan banyak bercerita, padahal baru sekali itu kami bertemu.

"Umur pinten Budhe lare ne?" tanya saya 
 (Umur berapa Budhe anaknya?)
"Sangang tahun mbak, kelas tigo, niki sampun ngoyak ngoyak nyuwun ditumbaske motor mbak, rencang rencange sampun saget nitih motor, piyambake nggeh sampun saget,  niki badhe kulo tumbaske motor."
(Sembilan tahun mbak, kelas tiga, ini sudh ngejar ngejar minta dibelikan motor, teman temanya sudh bisa naik motor, Dia juga sudah bisa, ini mau saya belikan motor)


"Lho...nopo mboten bahaya Budhe, taseh alit, menawai onten nopo nopo ten dalan pripun Budhe?...mangkeh gelo lho Budhe."    
(Lho...apa tidak berbahaya Budhe, masih kecil, kalau terjadi apa apa di jalan bagaimana Budhe? nanti menyesal lho Budhe)


"Mboten nopo nopo mbak, paling ten kampung mawon" jawab si Ibu enteng.
(Nggak apa apa mbak, paling hanya di kampung saja)


Mendengar jawaban Ibu tadi kenapa saya merasa sedih ya....bukan masalah Ibu itu mampu membelikan motor, bukan masalah si Anak sudah bisa mengendarai motor, kalau menurut saya itu bukan sebagai wujud kasih sayang dan perhatian, namun sang Ibu justru "menjerumuskan" Sang anak pikirku. 

Apakah mengendarai motor di kampung atau gang juga tidak berbahaya, semisal anak ibu kebal tetap saja itu berbahaya, tak apalah itu resiko yang harus ditanggung anaknya . Namun bagaimana dengan anak anak lain, warga kampung yang lain, apakah dengan kehadiran anak anak yang belum cukup umur mengedarai motor, apakah tidak membahayakan keselamatan mereka warga kampung , juga membahayakan keselamatan anak anak tersebut...sangat ironis....

Sang Ibu tadi sudah mendapat giliran memesan nasi, setelah selesai sang Ibu berpamit kepada saya.

"Monggo mbak, kulo rumiyen" 
(Mari mbak, saya duluan)

"Inggih budhe, atos atos nggeh budhe" 
(Iya Budhe, hati hati ya Budhe).

Sambil berbisik, saya berpesan 

"Budhe, mboten usah di tumbaske motor nggeh hehehe" kataku.
 (Budhe, tidak usah di belikan motor ya Budhe)
Ibu tersebut tersenyum dan melaju bersama motornya, anak laki lakinya membonceng di belakang sambil melihat ke arah saya...


Setelah itu giliran saya untuk mendapat jatah untuk dilayani.  Saya memesan nasi separo, oseng pare, rendang jengkol, sambal. Dirga sup, ayam goreng,  ayah rames mie kering dan sambal. 

Perjalanan pulang saya terus memikirkan pembicaraan saya dengan ibu yang tadi. Sedih sekali mengapa orangtua cenderung bangga anak anaknya yang masih kecil bisa mengendarai motor, mengapa orangtua bangga mampu membelikan motor kepada anaknya. 

Ayah bunda sebaiknya kita sedikit bijaksana, saat kita memberikan motor berarti kita telah merestui anak kita untuk berkendara sebelum usianya. Maka meraka akan bangga dan merasa "mendapat kepercayaan" dari orangtua. Mereka merasa gagah, bahwa "Aku sudah besar". Si Anak akan merasa mampu menaklukan jalanan dengan restu yang sudah mereka kantongi dari orangtua. Mereka tidak menyadari bahwa ada hak pengendara lain yang juga harus dihormati. Ada hak hak pejalan kaki yang juga harus dihargai. 

Ketika saya  mengendarai motor di jalan raya, kadang  saya menemui anak anak yang masih terlihat imut, masih jinjit saat kaki mereka jagan dari motor,  mengendarai motor tanpa helm, motor tanpa spion, bunyi knalpot yang memekakkan telinga, dan yang lebih ekstrim berboncengan lebih dari dua dengan kecepatan penuh dan men jumping jumpingkan motornya....ya mereka bangga, bisa menjadi raja jalanan secara ilegal. Itu salah satu sebab mengapa jika saya berpergian agak jauh dari rumah,  saya tidak diijinkan mengendarai motor sendiri oleh suami. 

Sampai rumah saya menceritakan hal tersebut kepada suami sambil menikmati sarapan,  suami menjawab "Mungkin bagi bunda keselamatan anak itu penting, tapi tidak bagi ibu yang bunda ceritakan tadi" Ooohhhh, singkat sekali jawaban suamiku.

Wahai orangtua bersabarlah sedikit, anak anak akan melewati masa masa mereka, kelak ketika usia mereka sudah cukup, mereka akan bisa merasakan mengendarai motor dengan benar dan aman. Mereka sudah resmi memiliki SIM yang benar benar syarat mutlak yang harus dimiliki oleh pengendara motor. Mereka sudah mengerti aturan aturan yang harus dipatuhi di jalan, mereka sudah mengerti rambu rambu lalu lintas, sehingga mereka bisa menghargai pengguna jalan yang lain.  Janganlah memberikan kebebasan yang tidak dilandasi dengan rasa tanggung jawab. Secara psikologi mereka masih kecil, mental mereka di jalan belum teruji, jam terbang mereka di jalan belum banyak,  mereka belum tentu memiliki skill berkendara mungkin hanya bisa bisaan saja, jangan biarkan mereka mengendarai motor sendiri di kampung atau di jalanan, jangan pertaruhkan keselamatan anak bapak dan ibu

Sekitar sebulan setelah obrolan itu, saya dan suami hendak mencari sesuatu di daerah Mataram, sampi di Jalan Majapahit ada sedikit kemacetan, ternyata ada  kecelakaan motor dengan motor. Banyak yang berkerumun dan banyak yang menolong, saya melihat anak bersegaram SD, berboncengan, tanpa helm, motor protholan di tepi Jalan, sedang dikerumuni.

Menurut saksi ternyata si Anak SD tersebut memotong jalan untuk menyebrang dan menabrak seorang bapak setengah baya yang berjalan ditrack yang sudah benar,...oalah le..le...mbok yo ati ati, ojo ngawur to le...le...(oalah...nak...nak yang hati hati, jangan gegabah nak...nak...) sangat membahayakan diri sendiri dan pemakai jalan yang lain..gumamku. Karna macet saya pun berhenti sejenak sambil menunggu motor yang lain berjalan. 

Saya sempat mendengar ada teriakan seorang bapak.

" Kowe ki kelas piro kok numpak motor dewe, Bapakmu ndi?" 
(Kamu itu kelas berapa kok naik motor sendiri, Bapakmu di mana?)

Si anak tidak menjawab, namun malah menangis,  Si bapak yang ditabrak tidak mengalami luka, hanya kaget terjatuh bersama motornya. Alhamdulillah semua selamat. 

Sebenarnya saya hendak memfoto kejadian tersebut, namun saya tidak sempat mengambil ponsel di dalam tas. Biasanya saya mengabadikan kejadian melalui foto, sampai di rumah saya tunjukkan kepada Dirga, sebagai bahan obrolan untuk Dirga, sambil memberikan nilai nilai baik buruk, benar dan salah dalam setiap kejadian yang kami lihat. 

Jika si Anak mau belajar dari kejadian yang baru saja dialami, mungkin dia tidak akan berani mengendarai motor lagi. Apabila pengalaman tersebut dapat menjadikan pembelajaran yang berharga untuk dirinya. 

Jika sampai di rumah, si Anak bercerita kepada orangtuanya, seharusnya orangtua tidak mengijinkan anaknya untuk mengendarai motor lagi, seharusnya orangtua bersyukur,  karena orangtua masih bisa melihat anaknya walau ada luka lecet, memar dan mungkin si Anak trauma namun mereka masih bisa bertemu usai kecelakaan itu. 

Misalnya kemungkinan buruk terjadi,  jika massa main hakim sendiri, mereka masih kecil hanya bisa menangis, merasa takut  tanpa orang dewasa yang mendampingi karena mereka merasa salah.  Apa jadinya jika sampai tidak bisa bertemu lagi dengan orangtua, apa yang terjadi seandainya terjadi kecacatan permanen akibat kecelakaan itu, bagaimana dengan masa depan mereka. Orangtua akan sangat sangat merasa bersalah sepanjang hidupnya, karena telah mengijinkan anaknya untuk berkendara sebelum mereka cukup umur. Menyesal diakhir tiada guna. 

Kami melanjutkan perjalanan, dalam hati berpikir semoga yang mengalami kecelakaan tadi bukan anak dari ibu yang ngobrol dengan saya sebulan lalu di warung nasi...semoga bukan...dan semoga ibu itu tidak jadi membelikan motor untuk anaknya...semoga...

Ayo..ayah bunda, kita harus terus berusaha, terus belajar untuk  menjadi orangtua yang bijak. Memberikan kasih sayang dan perhatian bukan dengan memberikan apa yang mereka inginkan, namun memberikan apa yang mereka butuhkan sesuai dengan usia anak anak kita.

Terimaksih bunda bunda, sudah membaca coretan bunda Dirga
Semoga bermanfaat 


2 komentar:

  1. Biasanya karena posturnya dianggap udah besar, udah cocok asal dibelikan padahal faktor psikologis si anak juga harus diperhatikan. Berkendara di jalan menyangkut keselamatan banyak orang sih ya

    BalasHapus
  2. Iya bunda...fisik anak sekarang besar besar ya bun, saya sering menyebut bongsor...hehehe, orangtua harus memperhatikan faktor lainnya. Keselamatan yang utama, belum lagi yang harus diperhatikan, kejahatan di jalan, saat anak anak masih kecil berkendara kejahatan bisa saja mengintai mereka...

    BalasHapus